Istilah industri kreatif belum banyak diketahui oleh publik di Indonesia . Istilah ini pertama kali dicanangkan oleh Partai Buruh Australia pada awal 1990-an. Tujuannya adalah mencari format baru pengucuran dana untuk penciptaan lapangan kerja. Kemudian gagasan ini ditangkap oleh Tony Blair, pemimpin Partai Buruh Inggris saat itu, yang kemudian membentuk Tim Industri Kreatif Inggris pada tahun 1997. Tim ini mengajukan definisi industri kreatif yang kemudian banyak diterima oleh berbagai pihak.
Sejatinya industri kreatif dapat dijelaskan sebagai kegiatan industri yang bersumber dari kreativitas, keahlian, dan bakat individu yang dapat diolah menjadi sumber lapangan kerja dan kemudian dapat menyumbang perkembangan perekonomian nasional. Industri kreatif ada yang bersifat instan dan langsung seperti produk periklanan dan ada juga tidak langsung dan berjangka panjang seperti produk kerajinan dan seni.
Inggris, sebagai negara terdepan di dalam pengembangan industri kreatif menetapkan 15 sektor yang termasuk dalam industri kreatif, yaitu: periklanan, arsitektur, kesenian dan barang antik, kerajinan tangan, desain, tata busana, film dan video, perangkat lunak untuk hiburan interaktif, musik, seni pertunjukan, publikasi atau penerbitan, perangkat lunak dan permainan komputer (computer game), televisi, serta radio.
Pada tahun 2000 di Inggris, industri kreatif menyumbang 7,9% produk domestik bruto (PDB) negara tersebut atau kira-kira 112,5 miliar pounsterling dan mengalami pertumbuhan sebesar 9% selama 1997-2000, jauh di atas pertumbuhan ekonomi total yang hanya 2,7%.
Desain (2,8% dari PDB), perangkat lunak (1,6%), penerbitan (0,9%), dan periklanan (0,7%) merupakan empat bidang usaha industri kreatif yang paling menonjol. Untuk daya serap tenaga kerja, industri kreatif menyerap lebih dari 1,5 juta pekerja atau 5% dari tenaga kerja nasional Inggris. Dan merujuk data yang dirilis tahun 2003, industri kreatif menyumbang 8,2 persen penerimaan nasionalnya.
Karakteristik Tantangan Industri Kreatif
Disebabkan industri kreatif ini masih relatif baru dikenal, maka tantangan dan peluangnya pun cukup besar. Di antara tantangannya adalah akses terhadap industri kreatif masih sulit dan mahal terutama untuk perizinan, modal kerja, investasi, serta perolehan hak cipta. Pengucuran kredit dari sumber tradisional seperti Bank, masih sulit disebabkan nilai aset tetap yang kecil dan sulitnya menaksir nilai ekonomis. Nilai ekonomis baru diketahui setelah pasar merespon poduk yang diluncurkan: apakah menyambut positif atau negatif. Oleh sebab itu, industri kreatif sangat lekat dengan inovasi.
Selain itu, rantai pasok bisnis kreatif masih terkotak-kotak. Hanya, baru-baru ini saja mulai tumbuh potensinya seiring dengan meningkatnya permintaan produk kreatif. Jejaring yang terbatas, mengurangi kesadaran individu dan bisnis terhadap kegiatan kreatif dan peluang bisnis kreatif. Masing-masing pelaku –mulai dari proses kreasi, produksi, distribusi, dan pemasaran– berjalan sendiri-sendiri. Rantai pasok produk kreatif yang buruk menghambat potensi pertumbuhan industri kreatif.
Potensi Komunitas HMI dan Industri Konten
Sebagai yang dibesarkan di lingkungan yang menjunjung tinggi budaya kreatif, sudah sepatutnya komunitas HMI tertarik untuk memasuki dan terlibat aktif di kancah industri kreatif di negeri ini. Di kancah indusri ini akan diuji sejauh mana komunitas HMI dapat berkompetisi dan tahan terhadap kompetitor-kompetitor lain yang jumlahnya belum terlalu banyak.
Di antara peluang yang menantang dapatlah penulis sebutkan misalnya di industri konten. Dewasa ini industri konten sebagai bagian dari industri kreatif telah melengkapi pertumbuhan industri seluler. Bahkan baru-baru ini, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) telah memperkenalkan Indonesia Digital Community (Indigo) sebagai wadah bagi para pelaku industri kreatif. “Melalui Indigo yang diperkenalkan ini, Telkom siap mewadahi sektor kreativitas kreatif yang terdiri dari musik, animasi, games, desain, software, sastra dan publikasi”, kata Vice President Public & Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia seperti yang dikutip Suara Karya, Kamis, 13 September 2007.
Tujuan besar Telkom di balik peluncuran Indigo tersebut adalah untuk memacu bisnis konten (layanan produk informasi) dengan menggandeng berbagai pihak yang terkait industri kreatif. Ini dilakukan untuk berbagi pengalaman dan menyusun cetak biru (blue print) perkembangan budaya digital di masa depan.
Komunitas HMI seharusnya dapat memanfaatkan ceruk bisnis industri konten ini. Dengan kekuatan kreatif yang dimiliki komunitasnya, apakah dengan cara menciptakan hikmah-hikmah kreatif, ringtone kreatif, grafis kreatif, atau pun humor kreatif yang digali dari warisan Islam, semuanya dapat diolah menjadi bisnis kreatif yang menghasilkan laba.
Selain media seluler, masih banyak media yang dapat menjadi penyalur hasil-hasil kreatif komunitas HMI yang menghasilkan keuntungan. Multimedia dan poster-poter pun dapat diciptkan menjadi produk yang menghasilkan laba. Masalahnya, apakah kita mau dan bekerjasama?
(Syahrul Efendi Dasopang, Bekerja di Perusahaan IT yang mengandalkan Industri Kreatif)